
Menteri Keuangan pernah mengungkapkan bahwa terdapat sembilan jenis profesi yang dinilai olehnya sangatĀ potensial agar dapat memperluas basis peserta dari program pengampunan pajak (tax amnesty). Berikut ini adalah beberapa profesi yang sangat berpotensi untuk dapat memperluas jangkauan dari program amnesty pajak :
1. Notaris.
2. Dokter.
3. Konsultan Pajak.
4. Pengacara.
5. Arsitek.
6. Akuntan.
7. Penilai.
8. Gubernur dan Wakil Gubernur.
9. Komisaris dan Direksi BUMN.
Dari sekitar 46.000 yang sudah terdaftar sebagai pemilik dari nomor induk kependudukan dan NPWP, yang sudah tercatat hanya 16,8 % yang saat telah mengikuti program tersebut. Undang-undang pajak telah membagi para wajib pajak dari perorangan menjadi tiga, yaitu sebgai berikut :
1. Wajib pajak yang tidak melakukan usaha atau pekerjaan bebas, yaitu : karyawan, pegawai negeri sipil (PNS) atau anggota TNI/Polri.
2. Mereka yang melakukan usaha dan kegiatan, misalnya para pengusaha/wiraswasta.
3. Wajib pajak yang melakukan pekerjaan bebas, yaitu : para pengacara, akuntan, konsultan, penilai, arsitek, notaris, dokter, aktuaris dan sebagainya.
Pengertian sebenarnya dari pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang memiliki keahlian khusus sebagai usahanya sendiri agar dapat memperoleh penghasilan yang tidak terikat terhadap suatu hubungan kerja. Penerimaan pajak penghasilan yang berasal dari para pengusaha dan pekerjaan bebas tersebut selama 10 tahun terakhir sudah cukup stagnan. Pada 2006 kontribusinya terhadap Negara sudah mencapai Rp.1,8 triliun dan semakin meningkat menjadi Rp.5,2 triliun pada 2015.
Sekarang bandingkan dengan berbagai kontribusi dari para wajib pajak perorangan yang sudah berstatus karyawan sebesar Rp.31,6 triliun pada 2006 dan telah naik menjadi Rp.126,8 triliun pada 2015. Dengan demikian, konsep pay as you earn dengan lebih banyak mengandalkan sistem pemungutan withholding tax bagi setiap karyawan akan jauh lebih efektif apabila dibandingkan dengan sistem self-assesment untuk dapat menjaring pajak penghasilan.
Hambatan Dalam Perhitungan Wajib Pajak Pribadi
Sistem self-assesment berarti Negara sudah memberikan kepercayaan yang cukup besar terhadap para wajib pajak untuk segera mendaftar, menghitung dan melaporkan dari kewajiban pajak mereka. Untuk segera membuktikan tentang kebenaran dalam hal penghitungan pajak mereka, para wajib pajak pribadi yang telah melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tentunya memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pembukuan mereka.
Pembukuan tersebut sekurang-kurangnya adalah terdiri atas catatan tentang :
1. Harta.
2. Kewajiban.
3. Modal.
4. Penghasilan.
5. Biaya.
6. Penjualan.
7. Pembelian.
Hambatan terbesar adalah untuk dapat memaksa mereka secara disiplin mencatat seluruh aktivitas usaha layaknya sebagai seorang akuntan. Untuk pengecualian diberikan terhadap mereka yang memiliki penghasilan bruto yang kurang dari Rp.4,8 miliarĀ per tahun.
Kewajibannya hanya akan berupa pencatatan, yaitu pengumpulan data secara teratur atas berbagai penghasilan bruto. Selanjutnya, penghasilan mereka akan dihitung dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Jika memang dalam pembukuan, wajib pajak harus bisa menghitung penghasilan bruto dan setiap biaya agar dapat memperoleh keuntungan (penghasilan neto), maka dalam pencatatannya akan jauh lebih sederhana. Para wajib pajak hanya akan menghitung penghasilan bruto, sedangkan standar biaya memang sudah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Misalnya penghasilan jasa dari para dokter di kota-kota besar akan dikenakan norma penghitungan sebesar 45%. Jika memang penghasilan satu tahun sebesar Rp.2 miliar, maka penghasilan nettonya sebesar Rp 900 juta. Setelah dikurangi penghasilan tidak kena pajak sebesar Rp.54 juta (diasumsikan jika belum menikah dan belum memiliki tanggungan), maka pajak penghasilan yang harus dibayarkan adalah Rp.198,8 juta.
Hal ini berarti tarif pajak efektifnya adalah 10%. Ini sudah termasuk sangat rendah mengingat Indonesia telah sejak lama menganut pajak progresif, semakin besar penghasilan akan dikenakan tarif pajak lebih tinggi (maksimal 30% untuk penghasilan di atas Rp 500 juta).
Ketentuan Asas keadilan Perpajakan di Indonesia
Tarif pajak efektif tersebut bisa saja lebih kecil jika penghasilan juga lebih kecil. Misalnya penghasilan seorang dokter itu hanya Rp.1 miliar. Maka pajak penghasilan yang harus dibayarkan adalah Rp.69,8 juta atau tarif pajak efektifnya hanya sekitar 7%. Sangat jauh berbeda apabila dibanding dengan seorang karyawan yang berpenghasilan sangat tinggi. Misalnya saja manajer suatu perusahaan dengan penghasilan setahun Rp.1 miliar, maka pajak yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp.227 juta atau tarif pajak efektif lebih dari 20%.
Perbandingan dari atas sudah menunjukkan bahwa ketentuan pajak di Indonesia sangat lunak untuk para wajib pajak dengan profesi pekerja bebas. Kepatuhan para wajib pajak di Indonesia memang masih sangat rendah, terutama bagi yang menjalankan sistem self assesment. Kepercayaan yang diberikan oleh lebih dari 30 tahun belum mendapatkan hasil. Artinya adalah, langkah dari Menteri Keuangan dalam memburu pajak dari penghasilan berdasarkan profesi masing-masing sudah sangat tepat.
Apabila pembaca membutuhkan bantuan dan pendampingan tentang perkembangan bisnis dan konsultasi bisnis atau seputar software akuntansi, silahkan hubungi 0818521172, atau email ke groedu@gmail.com atau groedu_inti@hotmail.com.
Harian Kontan
http://www.pengampunanpajak.com
info@pengampunanpajak.com