INSTRUMEN PENGENDALIAN TARIF CUKAI ROKOK DAN PENERIMAAN PAJAK NEGARA BESERTA TENAGA KERJA


Mengkonsumsi rokok dan berbagai produk tembakau lainnya di Indonesia ini lebih cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Angka dari prevalensi (%) dalam mengkonsumsi tembakau baik yang dihisap secara langsung maupun yang dikunyah juga lebih cenderung meningkat tajam. Hasil survey dari kesehatan berskala nasional (2011) telah menunjukkan bahwa besaran masalah dalam mengkonsumsi tembakau masih relatif tinggi dan lebih cenderung meningkat apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Selain itu masih menjadi masalah kesehatan nasional di Indonesia, dalam mengkonsumsi rokok di Indonesia juga telah memberikan sumbangan bagi masalah kesehatan global dengan menjadi salah satu dari lima negara pengkonsumsi rokok tertinggi di dunia.

Dalam buku “Tobacco Atlas”tahun 2014, negara Indonesia adalah negara keempat dengan jumlah batang rokok yang dikonsumsi terbesar di dunia setelah Negara : Cina, Rusia, dan Amerika Serikat. Hal ini telah menunjukkan bahwa peringkat di Indonesia masih berada pada peringkat yang sama seperti sebelumnya.

Kondisi stagnansi di Indonesia sebagai negara dengan pengkonsumsi rokok terbesar telah terkonfirmasi dengan kondisi industri hasil tembakau nasional saat ini. Data produksi selama 10 tahun terakhir telah menunjukkan bahwa secara linier trend pertumbuhan produksi hasil tembakau sudah mulai mengalami penurunan dengan nilai trend sebesar -0,28%.

Berdasarkan data pemesanan pita cukai (CK-1) produksi rokok nasional (2015) telah tumbuh pada kisaran 1% yang mana pada tahun-tahun sebelumnya (2014) sempat mengalami penurunan produksi sebesar 0,4%. Pada saat yang bersamaan pula jumlah pabrik rokok pun telah mengalami penurunan yang cukup signifikan dari 4.669 pabrik (2007) menjadi 754 pabrik (2016).

Pertumbuhan produksi yang lebih cenderung stagnan/flat tersebut tentunya sangat berdampak besar terhadap sektor tenaga kerja terutamanya adalah rokok kretek tangan yang mana telah banyak menyerap tenaga kerja langsung sebesar 72,53% atau 291.824 orang (survey DJBC, 2014).

Berdasarkan studi dari LPEM UI telah menyebutkan bahwa jumlah para pekerja sektor manufaktur produksi rokok mengalami penurunan 3,5% dalam kurun waktu 5 tahun.
Oleh karenanya pihak Pemerintah dalam menyusun kebijakan tentang cukai hasil tembakau telah memperhatikan beberapa aspek serta mendengarkan dari berbagai masukan dan pandangan dari pihak-pihak terkait (industri dari hasil tembakau, Kementerian terkait, akademisi, dan parlemen).

Secara umum dalam hal kebijakan cukai hasil tembakau telah berpegang teguh terhadap 3 pilar utama, antara lain adalah :

1. Pengendalian Konsumsi.
2. Penerimaan Negara.
3. Tenaga Kerja.

Adapun arah dari adanya kebijakan cukai hasil tembakau kedepannya masih akan tetap berfokus terhadap pilar utama dan aspek lain yaitu peredaran rokok secara ilegal.

Kenaikan tarif cukai hasil tembakau yang akan mulai berlaku pada 2017 mendatang sebelumnya telah mempertimbangkan kondisi dari produksi selama 3 tahun terakhir, yang mana pertumbuhan produksi dari hasil tembakau lebih cenderung stagnan/flat.

Hal ini telah mengindikasikan tentang adanya perlambatan dalam pertumbuhan/pertumbuhan yang lebih terkendali dan disebabkan oleh adanya kenaikan cukai dari hasil tembakau yang cukup tinggi dan signifikan tersebut. Diperkirakan akan semakin berdampak besar terhadap adanya penurunan produksi dari hasil tembakau sebesar 0,03% (2016) dan telah diharapkan dengan adanya keniakan tarif cukai tahun 2017 denga rata-rata tertimbang sebesar 10,54% dapat menjaga pertumbuhan produksi pada kisaran ±1%.

Beberapa studi telah banyak menyatakan bahwa kenaikan rata-rata tarif dari cukai sebesar 10% dapat menurunkan konsumsi sebesar 0,9% (Djutaharta et al, 2005). Hal ini tentunya sudah selaras dengan arah dari pengendalian konsumsi yang mana saat produksi rokok stagnan maka konsumsi pun dapat semakin terkendali.

Selain itu, kenaikan dari tarif cukai hasil tembakau dengan rata-rata tertimbang jenis SKM sebesar 10,52% (kisaran 7,35%-11,67%), SPM naik dengan rata-rata tertimbang 13,46% (kisaran 8,20%-13,73%), dan SKT naik dengan rata-rata tertimbang 8,68% (kisaran 0%-11,11%) akan diambil dengan memperhatikan kondisi dari perekonomian nasional yang belum membaik.

Pembebanan daru tarif tersebut sebenarnya dimaksudkan agar dapat memberikan perlindungan terhadap keberlangsungan para tenaga kerja sebagaimana yang terjadi pada tahun 2016. Dengan komposisi tarif cukai tersebut, selain dapat untuk menambah penerimaan negara pada sektor cukai juga akan memberikan dampak secara positif terhadap penerimaan pajak rokok yang diperkirakan telah tumbuh sebesar 7,90%.

Pada saat bersamaan batasan Harga Jual Eceran (HJE) minimum juga telah dinaikkan, untuk jenis SKM rata-rata sebesar 13,03% (kisaran 10,75%-15,84%), dan SKT rata-rata sebesar 12,38% (kisaran 8,11%-20,66%). Kenaikan HJE ini sebenarnya dimaksudkan agar harga hasil tembakau dipasaran tidak sampai terlalu murah.

Pada akhirnya, diharapkan adanya upaya-upaya dari pihak pemerintah dalam mencapai goal tentang kebijakan cukai hasil tembakau dapat tercapai yakni dari konsumsi rokok terkendali, keberlangsungan tenaga kerja semakin terjaga, target penerimaan cukai tercapai, dan peredaran rokok illegal dipasaran dapat diminimalisir sekecil mungkin.

Implementasikan semua ini untuk perusahaan anda. Apabila pembaca masih membutuhkan informasi yang lebih banyak. Silahkan hubungi groedu@gmail.com atau hubungi 0818521172 atau 081252982900 jika memerlukan bimbingan dan konsultasi. ( Frans M. Royan)

http://www.pemeriksaanpajak.com
http://www.pengampunanpajak.com
info@pengampunanpajak.com