Bapak Presiden Joko Widodo pada suatu kesempatan pernah sekali menyindir terhadap para pengusaha-pengusaha lokal yang memiliki hobi/kegemaran untuk menyimpan uangnya di luar negeri. Alasan utamanya adalah agar dapat menghindari pengenaan pajak di Indonesia. Padahal sebenarnya Negara juga sedang membutuhkan uang untuk membangun infrastrukturnya.
Ya tentu saja, memang benar adanya. Saat ini, pemerintah sedang sangat membutuhkan adanya pemasukan dana segar, karena brangkas negara selalu saja habil karena disebabkan oleh adanya defisit. Karena, penganggaran untuk biaya belanja negara jauh lebih besar daripada penerimaan.
Seperti pengalaman-pengalaman dari kejadian yang terjadi sepanjang tahun sebelumnya.
Apalagi Presiden Jokowi sangat concern (perhatian) sekali terhadap proses pembangunan infrastruktur di tanah air. Dengan membaiknya infrastruktur nantinya diharapkan mampu mendorong tumbuhnya perekonomian nasional.
Sekarang kita kembali kepada persoalan dari penerimaan negara, ibaratnya adalah, begitu ada uang masuk dari pajak atau dari penerimaan-penerimaan lainnya, dapat dipastikan akan langsung habis untuk membayar kontraktor proyek-proyek infrastruktur negara.
Nah, sekarang apabila penerimaan pajak sudah sangat anjlok terus, maka mau tak mau pihak pemerintah akan lebih banyak mengandalkan pemasukan dari hutang luar negeri agar dapat digunakan untuk menambal defisit anggaran Negara. Jika sama sekali tidak dapat kucuran dana hutang, maka bisa dipastikan anggaran negara benar-benar akan terancam mengalami kekosongan. Bisa-bisa anggaran rutin sama sekali tidak mampu untuk terbayarkan secara tepat waktu.
Seperti contoh pada Per-Juni 2016, realisasi belanja negara sudah mencapai lebih dari Rp 865,4 triliun, sementara realisasi penerimaan negara baru hanya sebesar Rp 634,7 triliun. Terjadinya defisit sebesar Rp 230,7 triliun.
Agar dapat menutup defisit tersebut, selama semester I 2016, pihak pemerintah terus saja menambah hutang baru sebanyak Rp 197,61 triliun. Sisa dari defisit telah ditutup dari hutang yang diambil pada tahun sebelumnya. Jadi, jika tidak ada uang dari hutang, kas pemerintah saat ini benar-benar sudah kosong.
Dari penilaian para analisis sendiri dan pihak akademisi, Presiden Jokowi terlalu ambisius dalam membangun infrastruktur, padahal uang kasnya sama sekali belum mencukupi untuk dapat mewujudkan hal tersebut. Maka dampak utamanya adalah pihak pemerintah harus selalu berutang lebih banyak lagi dan lagi serta harus memangkas pos-pos anggaran lain yang kurang penting dan tidak terlalu produktif agar setidaknya tersedia cukup dana dalam membangun infrastruktur Negara.
Dalam memasuki dua tahun masa pemerintahan dari Presiden Jokowi, anggaran infrastruktur memang telah dinaikkan “gila-gilaan”. Pada tahun 2015, anggaran infrastruktur sudah mencapai Rp 290 triliun. Sedangkan pada 2016, angkanya telah ditinggikan lagi menjadi Rp.313 triliun. Maka bisa Anda bandingkan dengan era Presiden SBY, anggaran infrastruktur rata-rata hanya Rp.150 triliun per tahunnya.
Negara Indonesia sendiri memang sangat membutuhkan infrastruktur agar dapat mengurangi biaya logistik, mengurangi kesenjangan antar-daerah, menciptakan kantong-kantong ekonomi baru, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi serta kemajuan pembangunan.
Namun dari Litbang Kompas telah mengingatkan, terlalu ambisius dalam membangun infrastruktur dengan mengorbankan kepentingan masyarakat jangka pendek juga sama sekali jurang kurang bagus.
Agar dapat mengatasi kesulitan pendanaan, Presiden Jokowi mendorong dari kalangan bisnis agar dapat mengikuti tax amnesty. Apalagi jika banyak diantara para pengusaha yang memarkirkan uangnya di luar negeri, hal itu sudah menjadi bukti bahwa mereka (para pengusaha) sama sekali tidak percaya terhadap pemerintahnya sendiri. Menurut Presiden Jokowi, hal tersebut sangatlah tidak adil. karena, para pengusaha tersebut telah mendapatkan banyak sekali keuntungan dengan cara mendirikan sumber pendapatan (perusahaan mereka) di Indonesia.
Presiden Joko Widodo mengajak para pengusaha tersebut agar dapat memanfaatkan kebijakan dari tax amnesty atau pengampunan pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Menurutnya, kebijakan tersebut akan menjadi sebuah momentum dalam rangka untuk mengembalikan uang pengusaha Indonesia yang telah diendapkan di luar negeri. Jokowi pun mengklaim sudah memiliki data-data dari para pengusaha yang masih menyimpan uangnya di luar negeri.
Dalam kondisi penurunan ekonomi dunia saat ini, Indonesia tentunya sangat membutuhkan partisipasi dari warganya, khususnya dari para pengusaha kaya. Maka dengan adanya program Tax Amnesty atau jika dalam bahasa Indonesia menjadi program amnesti pajak periode II, membutuhkan partisipasi dari para pelaku dari dunia usaha dan para saudagar-saudagar agar dapat mencapai hasil pemasukan yang lebih optimal.
Sekarang, pihak publik hanya tinggal menanti tindakan yang benar-benar nyata dari kalangan pengusaha UMKM dalam mengikuti program pengampunan pajak. Tentu saja penantian ini akan langsung berbaur dengan harapan dan juga kecemasan dari pihak pemerintah maupun dari pihak para pengusaha sendiri.
Apabila pembaca membutuhkan bantuan dan pendampingan tentang perkembangan bisnis dan konsultasi bisnis atau seputar software akuntansi, silahkan hubungi 0818521172, atau email ke groedu@gmail.com atau groedu_inti@hotmail.com.
http://www.pengampunanpajak.com
info@pengampunanpajak.com