Sebagai perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi, biasanya industri manufaktur sering menghadapi situasi yang mana mereka ingin mencatat berbagai biaya produksinya. Tujuan utamanya adalah agar bisa mengetahui Harga Pokok Produksi (HPP). Dan pada akhirnya apabila produk tersebut dijual, maka akan muncul Harga Pokok Penjualan (HPP).
HPP atau dalam bahasa Inggris-nya disebut Cost Of Goods Manufactured (COGM) yang terdiri dari:
1. Cost dari bahan baku (Raw Material).
2. Biaya langsung /Direct cost/Direct Labor.
3. Overhead pabrik (Factory/Manufacturing Overhead atau FOH/MOH).
Maka akan didapatkan HPP.
Apakah masih ada yang salah dengan rumus tersebut? Sama sekali tidak ada yang salah apabila digunakan pada situasi yang tepat. Namun jika disalahgunakan, maka akan berakibat pada semakin menurunnya daya saing dari produk Anda dipasaran.
Sebenarnya teori cost accounting di atas ditemukan pada zaman revolusi industri abad ke-18. Pada masa itu, kebanyakan produksi masih dikerjakan manual oleh tangan manusia. Jika pun ada mesin, masih hanya sebatas mesin manual yang harganya relatif lebih murah. Pada saat itu, biaya tenaga kerja dihitung berdasarkan hasil pekerjaan saja.
Jadi kondisi saat itu adalah:
1. Biaya tenaga kerja dihitung berdasarkan hasil produksi (Variable Cost). Apabila hasil produksi naik, maka biaya tenaga kerja pun ikut naik. Namun apabila produksi sedang menurun, maka biaya tenaga kerja pun juga ikut menurun.
2. Biaya overhead pabrik juga relatif lebih kecil. Harga mesin relatif lebih murah sehingga nilai depresiasi yang akan dibebankan relatif lebih kecil.
Mari kita perhatikan industri manufaktur zaman sekarang, terutama kondisi industri manufaktur di Indonesia
Gaji buruh pabrik sudah sangat jarang dihitung berdasarkan hasil produksi. Boro-boro dihitung berdasarkan hasil produksi. Saat itu para buruh masih sering demo menuntut kenaikan UMP.
Apabila buruh digaji tetap, apakah itu ada pengaruh jika produksi sedang rendah atau tinggi?
Tentu saja tidak ada. Mau produksi rendah atau sedang tinggi, gaji buruh tetaplah sama saja. Bahkan apabila tidak memproduksi sekalipun, gaji bulanan harus tetap dibayar (apabila tidak ingin citra perusahaan hancur karena didemo).
Bagaimana dengan overhead pabrik? Overhead pabrik biasanya terdiri dari biaya depresiasi mesin, biaya listrik dan utilitas penting lainnya, bahkan ada juga yang memasukkan gaji direktur ke dalam overhead pabrik. Kondisinya yang sama dengan gaji buruh. Apabila produksi sedang rendah, apakah depresiasi mesin dan gaji direksi juga akan berkurang? Jawabannya tentu saja tidak.
Pada kenyataannya, masih ada 2 cara yang biasa dilakukan oleh divisi accounting untuk membebankan biaya gaji & overhead, diantaranya adalah:
1. Total gaji dan overhead per bulan dibagi dengan hasil produksi lalu dibebankan secara proposional.
2. Berdasarkan angka tahun sebelumnya akan dihitung standard overhead per output produksi. Sehingga setiap hasil produksi akan dibebankan langsung dengan overhead yang standard.
Kedua cara di atas memiliki efek negatif yang cukup riskan, yaitu:
1. Cara pertama akan menjadi kontra produktif apabila produksi sedang rendah. Pada saat itu biaya gaji dan overhead akan tetap sama sehingga total biaya tersebut dibagi dengan angka yang lebih kecil yang menghasilkan cost per produk menjadi semakin membengkak.
2. Untuk cara kedua, malah sebaliknya. Saat produksi sedang tinggi-tingginya, maka beban overhead juga akan menjadi lebih tinggi apabila dibandingkan dengan biaya actual. Hal ini akan menyebabkan angka dari biaya pada laporan laba rugi menjadi bernilai negatif. Hal ini juga akan menyebabkan Anda menjadi salah dalam menganalisa biaya.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Kita hanya perlu mencatat biaya yang variable saja. Artinya adalah: saat produksi naik, biaya juga akan naik. Saat produksi rendah, biayapun ikut menurun. Yang tidak termasuk biaya variable, jangan dibebankan kepada HPP.
Sedangkan yang termasuk biaya variable adalah:
1. Biaya Raw Material/Bahan baku.
2. Biaya gaji yang dihitung berdasarkan hasil produksi (ongkos jam kerja, dan lain-lain).
Apa manfaat menghitung HPP seperti cara di atas?
1. Daya saing produk Anda akan semakin meningkat. Apabila sebalumnya Anda menghitung dengan cara pembebanan overhead HPP Anda adalah 10 ribu, maka Anda tidak mungkin bisa menjualnya di bawah harga 10 ribu. Namun apabila Anda hanya menghitung Raw material saja, maka kemungkinan HPP Anda hanya menjadi 5 ribu sehingga anda bisa menjual dengan harga 7 ribu.
2. Sistem Akuntansi Anda juga menjadi sangat sederhana. Sederhana berarti sangat mudah untuk dilacak dan dilaporkan serta lebih cepat.
Apa boleh menghitung HPP seperti itu. Kan resikonya rugi? Mesin sudah dibayar mahal-mahal tapi tidak dibebankan kepada hasil produksi?
Lalu pertanyaan jawabannya adalah: Setelah mesin tersebut dibeli, apakah biaya depresiasinya akan menurun apabila produksinya semakin meningkat atau menurun? Jawabannya tentu adalah TIDAK. Begitu pula dengan gaji buruh dan biaya lainnya.
Sebagai contoh: Sebuah pabrik yang baru membeli mesin seharga Rp. 50 Milyar. Fungsi utama mesin tersebut adalah sebagai pembungkus produk dengan lebih cepat. Metode depresiasi yang digunakan adalah double declining (dengan alasan agar bisa mengurangi pajak). Bayangkan saja, berarti biaya pada tahun pertama yang nanti akan dibebankan kepada HPP adalah Rp. 25 milyar. Anggap saja hasil produksinya sekitar 100 juta buah per tahun, maka HPP dari masing-masing produknya akan bertambah sebesar 250 rupiah. Hal ini akan menyebabkan produk tersebut tidak bisa lagi dijual dengan harga lama dan harus dinaikkan setidaknya Rp. 250.
Bukankah cara seperti ini menjadi kontra produktif? Membeli mesin bukankah bertujuan agar produksi bisa lebih efisien dan ujung-ujungnya menurunkan biaya produksi dan semakin meningkatkan daya saing? Lalu kenapa sekarang malah membeli mesin baru yang menjadikan HPP semakin mahal?
Sekedar info: Negara China sudah lama menggunakan metode perhitungan HPP hanya dari raw material saja. Mesin produksi mereka sudah canggih, sehingga produktifitasnyapun sangat tinggi. Walaupun mesinnya canggih dan mahal, namun harga jual produk mereka tetap ditekan lebih murah. Itu sebabnya produk dari negeri tirai bambu ini sangat murah dan mampu di import ke mana saja.
Nah, kembali lagi ke Anda lagi. apabila Anda adalah pengusaha yang memiliki pabrik, apalagi jika pabrik besar yang sudah begitu kompleks prosesnya, coba cek sekali lagi cara Anda dalam menghitung HPP. Jangan-jangan, daya saing produk Anda sangat rendah hanya karena penyebabnya adalah cara menghitung HPP nya yang masih kurang mengikuti perkembangan zaman.
Apabila pembaca membutuhkan bantuan dan pendampingan tentang perkembangan bisnis dan konsultasi bisnis atau seputar software akuntansi, silahkan hubungi 0818521172, Office (only call no sms) : 081-59417699 atau email ke groedu@gmail.com bisa juga groedu_inti@hotmail.com